Hanya satu catatan dari pengamatan saya

Hasil pengamatan seputar kehidupan sehari-hari, jalan-jalan, film, hingga soal sejarah, kereta api dalam dan luar negeri

Monday 26 October 2020

Di Bawah Gerimis Ibukota Amerika (IVLP 5)

 

Inilah cuaca yang menyambut pagi pertama kami di Ibukota: Gerimis terkadang hujan. Dinginnya? Lumayaaan

Selesai mandi dan berpakaian (Saya memilih kaos, dilapis sweater, dan jaket disimpan di ransel), saya turun ke lobby untuk sarapan. Oh iya, yang perlu diperhatikan, tidak semua hotel yang kami inapi menyediakan sarapan. Namun, Hampton Inn ini menyediakannya, yang tentunya sangat berguna karena kami baru tiba dan masih buta lokasi sekitar. Mencari sarapan bukan perkara besar bila sudah begini.

Sunday 29 September 2019

Makan Malam Pertama di Amerika (IVLP 4)

Selamat Datang di Washington DC!




Makan malam di Pecinan Washington DC

Lelah dan mengantuk? Sudah pasti. Namun kami tidak ingin membuang waktu. Sesuai urutan keluar, saya di rombongan tengah. 

Rekan satu rombongan IVLP rupanya sudah menunggu di luar gate. Suasana terminal kedatangan di Ronald Reagan National Airport ini terlihat remang. Baru ketika melihat jam, kamipun maklum. Sudah pukul 22.00 di Washington DC. Ada selisih waktu satu jam dengan Chicago sehingga perjalanan yang dua jam terasa jadi tiga jam.

Anggota rombongan selain saya adalah pak Hary, Pak Sofyan, Pak Agus, bang Iman, dan mas Damar. Kami bergegas keluar dari terminal menuju ke tempat pengambilan bagasi.

Namun sebelum kami sampai, baru turun dari eskalator, nampaklah dua sosok pemandu kami: Mbak Kae Kosasih dan mas Izmyr Katoppo! Mereka memandu kami mengambil bagasi, lalu keluar menuju ke mobil eh minibus penjemput. Sopirnya, seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah Arab ramah membantu kami mengangkat koper ke bagasi minibus.

“Be careful, Habibi,” kata mbak Kae ke sopir itu.

Belakangan, kami tahu bahwa Habibi bukanlah nama asli sopir itu. Namun, nama itu dipakai Mbak Kae untuk menyemangati Habibi. Kenapa sebabnya? Sebentar lagi kami rasakan.
Minibus meluncur mulus keluar dari bandara dan mulai memasuki kota yang terlihat basah. Hujan nampaknya baru saja mengguyur. Bangunan tinggi mulai menyambut. Jalanan mulai padat. Kegelapan malam diwarnai dengan taburan lampu dari bangunan tinggi dan kendaraan di jalan.

Tiba di lampu merah, minibus tentu berhenti. Namun ketika lampu hijau, baru beberapa saat Habibi menginjak pedal gas, ia harus menekan pedal rem cukup dalam. Sebabnya, ada mobil yang nyelonong begitu saja. Sontak, penumpang minibus seperti menahan nafas. “Be careful,” kata Mbak Kae lagi.

Tidak sampai setengah jam, kami tiba di hotel kami: Hampton Inn yang terletak di area pusat kota Washington DC. Bangunan tinggi dengan eksterior batu merah sesekali terlihat dari sinar lampu jalanan.
Hotel dilihat dari jendela mobil


Sistem pengamanan hotel yang unik kami rasakan. Udara dingin yang menerpa membuat kami buru-buru masuk sambil menyeret koper masing-masing. Kami masuk melewati pintu hotel yang terdiri dari dua lapis pintu. Apabila ada petugas keamanan, ia akan membukakan pintu. Bila tidak, tamu hotel harus menggunakan kartu yang diberikan untuk membuka dua pintu kaca yang terpisahkan area transit kecil. Area transit ini berfungsi untuk mengeringkan alas kaki ketika di luar hujan.

Di Lobby, Mbak Kae dan Mas Izmyr membagikan berkas IVLP dari map biru. Map inilah yang diterima peserta IVLP dari seluruh dunia. Mapnya sama, yang beda hanya isinya :D Selain map, kami menerima kunci kamar dan password Wifi.

Tempat tidur yang nyaman

Seperti apa sih kamar hotelnya? Secara mendasar, tidak jauh berbeda dengan fasilitas hotel bintang 4 atau 5 di Indonesia. Ada TV, radio sekaligus jam dan alarm, kulkas, microwave, meja kerja, sofa kecil, dan tempat tidurnya yang luas dan nyaman. Yang membedakan adalah mesin AC yang terletak di jendela. “AC” ini bisa dinaikkan suhunya hingga menjadi pemanas ketika cuaca dingin melanda. Dari jendela ini saya juga bisa melihat aktivitas di jalanan kota Washington DC.

 
Fasilitas hotel, nampak AC dan pemanas di belakang tas saya

Makan Malam Pertama di Amerika

Rasa lapar kemudian mendera setelah kami masuk kamar dan menyimpan barang. Diskusi di grup WA membuat kami terpikir untuk mencari makan mengingat makan besar terakhir kami sebelum tiba adalah di penerbangan dengan American Airlines menuju Chicago.

Dasar orang Indonesia, walau di negeri orang, tetap saja nyari nasi! Mbak Kae pun kemudian mengantar kami mencari nasi ke Kawasan Chinatown alias Pecinan. Tidak perlu alat transportasi karena Pecinan hanya terletak sekitar dua blok dari hotel.

Udara dingin menggigit ketika kami berjalan keluar. Namun demikian, mungkin karena malam Minggu, makanya suasana terasa ramai. Banyak orang terutama pejalan kaki memadati trotoar. Kebanyakan mengenakan jaket, mantel atau minimal sweater. 

Pengalaman berjalan kaki di pedestrian DC ini juga memberikan pengalaman berbeda yang akan kami terapkan di kota-kota selanjutnya. Di sini, untuk menyeberang harus cermat melihat tanda pejalan kaki boleh menyeberang yang ditandai dengan lampu gambar orang warna hijau. Meski sudah ada tanda, namun mata juga harus cermat melihat kepadatan lalu lintas karena tidak sedikit persimpangan jalan yang mengizinkan mobil berbelok untuk jalan terus. Salah perhitungan, bisa celaka.

Pedestrian di DC ini juga cukup nyaman sebenarnya bila dinikmati di siang hari. Banyak pepohonan rindang yang menaungi pejalan kaki. Rumah-rumah penduduk sesekali menyelinap dari padatnya bangunan besar fasilitas public misalnya gereja dan sinagoga. Namun karena lapar, kami tak sempat menikmati banyak pemandangan.

Sekitar lima belas menit kemudian kami pun sampai di pecinan. Satu rumah makan menjadi pilihan kami.

Sebenarnya, Mbak Kae sudah makan sore tadi ketika mengantarkan dua anggota rombongan yang sudah terlebih dahulu tiba yakni mas Diki dan Mbah Luh De. Namun, ia tetap bersedia menemani kami. Terima kasih banyak, Mbak Kae!

Restoran yang (Duh, saya lupa Namanya) itu terletak tidak jauh dari persimpangan. Dari jalan, kami masuk melalui pintu utama dan sedikit turun. Tidak banyak pengunjung yang bersantap ketika kami datang. Waitres bertanya pada Mbak Kae tentang jumlah yang akan makan dan mengarahkan ke satu meja di tengah ruangan.

Meja kayu bulat dan kursi yang mengelilinginya jadi perabot utama untuk menunjang aktivitas bersantap para pengunjung. Di tengahnya terdapat berbagai ‘ubo rampe’ makan yakni beragam kecap dan sambal, sendok dan sumpit, juga gelas untuk air putih.
Dari buku menunya, nama-nama makanan cukup familiar untuk lidah Indonesia kami. Ada cap cay, tumis sayuran, hingga kwetiaw. Tanpa membuang waktu, kami memesan makanan yang familiar.

Satu rumus yang harus dipegang bila bepergian di Amerika dengan uang saku dari Indonesia: jangan rupiahkan harga makanannya! Nasi tergolong makanan yang cukup mahal di sini. Untuk makan menu nasi, uang yang harus dikeluarkan antara US$15-20. Nilai yang bisa untuk makan selama dua minggu di Jogja! Bila mau murah, bisa memesan burger di McD, sosis di Subway, atau hotdog.

Chinese food, menu makan malam kami

Perut kenyang, hati senang! Sistem makan di Chinese Food ini juga berbeda. Menu yang dihidangkan biasanya dalam porsi lumayan besar. Satu piring sayuran bisa untuk makan hingga 3 orang. Karena itu, sistemnya adalah total bill dibagi rata. Nah, malam itu saya cukup mengeluarkan US$17 untuk makan dengan berbagai sayur dan lauk. 
Piring saya. Lapar, hehehe


Meski sudah kenyang dan Lelah mendera badan, namun malam itu, cukup susah juga untuk tidur. Namun segelas cokelat susu hangat yang diambil dari area lobby hotel (Ada fasilitas gratis untuk tamu) cukup membantu membuat tubuh rileks. 

Tubuh saya masih merasa kalau itu adalah siang, padahal sudah nyaris tengah malam. Maklum saja, kalau ikut jam, di Indonesia masih tengah hari. Hingga akhirnya, setelah menyalakan alarm dan auto sleep di TV (Isinya siaran berita), saya berhasil tidur… selama lima jam. Pukul 05.30 alarm membangunkan saya dengan suksesnya. Mata terasa luar bisa berat, badan apalagi! Namun, agenda di hari Minggu sudah menanti: jalan-jalan di DC!
 

Pagi Pertama di Amerika dan Gegar Budaya di Toilet

Rutinitas pagipun dimulai. Namun masuk ke toilet, gegar budaya terjadi lagi. Saya teringat betul pesan seorang sahabat saya, Pak Martin Johnson yang merupakan warga Amerika asli. Sebelum berangkat saya bertanya banyak hal kepadanya tentang kehidupan di Amerika. Satu hal yang menjadi catatannya adalah soal toilet. Kamar mandi dan toilet di Amerika menganut prinsip kering. Jadi, tidak ada saluran pembuangan bawah. Kalau lantai basah, akan sangat susah keringnya!

Informasi itu saya jaga betul karena tidak mau ribet di kamar mandi. Saya akan tinggal di kamar ini selama sepekan ke depan. Mandi bisa dilakukan di bath tube sambil menutup tirai agar air tidak kemana-mana.

Soal sabun, sebenarnya pihak hotel sudah menyediakan cukup lengkap, mulai dari sampo, sabun badan, pasta gigi hingga deodorant. Namun demikian, saya yang kadang alergi dengan bahan tertentu memilih membawa sabun dari Indonesia. Sabun, sampo, sabun muka dikemas dalam botol tertentu agar mudah dibawa dan tidak mudah tumpah. Botol ini saya beli dari toko perlengkapan travelling, lengkap dengan tasnya yang tahan air.

Nah, yang paling vital adalah soal buang air besar. Kloset di sini tidak memiliki penyiram berupa selang untuk membersihkan diri setelah menuntaskan hajat. Karena, kebiasaan orang Amerika adalah memakai tisu untuk mengelap dan membersihkan. Buat orang Indonesia, ini adalah masalah besar. Membersihkan diri setelah buang air besar tak akan terasa bersih tanpa air. Solusinya sederhana: gelas kertas.

Hotel memang menyediakan gelas kertas di kamar, berdampingan dengan kopi dan teh bila tamu ingin minuman hangat di kamar. Ada tiga gelas kertas yang disediakan. Dua gelas saya simpan di kamar mandi, difungsikan sebagai gayung untuk membersihkan diri!

 

Thursday 5 September 2019

Transit di Narita dan Sebelas Jam Terbang ke Amerika (IVLP 3)


Jepang pada Pandangan Pertama


Sembari pesawat perlahan menurunkan ketinggian, bentang alam Jepang yang beragam namun didominasi alam asri yang menhijau pun menyambut. Mungkin karena Bandara Narita terletak cukup jauh dari Kota Tokyo, rumah penduduk terlihat tidak terlalu padat. Bahkan, terdapat ladang dan sawah yang menghijau, yang sesekali terlihat mengkilat karena adanya rumah kaca maupun ladang yang dilindungi pelindung plastic. Warna hijau muda berpadu dengan coklat dan keperakan hingga akhirnya barisan ekor pesawat menandakan pesawat telah hampir mendarat.

Wednesday 4 September 2019

Terbang Ke Amerika via Jepang (IVLP 2)


Keberangkatan


Sekitar dua minggu setelah wawancara visa, saya pun dijadwalkan berangkat. Pergi pertama kalinya ke negeri yang sama sekali berbeda dari Indonesia tentu memerlukan persiapan khusus.

Untungnya, sejak mendapat email konfirmasi sekaligus daftar persyaratan kelengkapan administasi, pihak kedubes juga menyelipkan beberapa petunjuk keberangkatan. Dalam dokumen tersebut diberikan gambaran kondisi di Amerika, baju yang dibutuhkan (termasuk seandainya berangkat di musim dingin), obat-obatan pribadi, dan petunjuk bila terjadi kondisi darurat misalnya sakit.

Berkas petunjuk ini juga dicetak dan dibagikan ketika briefing menjelang wawancara visa. Sejak mendapat berkas itu, persiapan pun dilakukan. Istri saya yang lebih berpengalaman bepergian membantu semua persiapannya. Mulai membeli batik (Karena bila tidak mau memakai jas, bisa diganti batik. Baju jenis ini dianggap baju formal dan bisa menghantikan jas untuk menghadiri pertemuan formal dan semi-formal). Berikutnya, yang juga penting adalah membeli souvenir. Di Amerika, kami akan bertemu dan berdiskusi dengan berbagai kalangan. Memberikan souvenir khas Indonesia tentu akan meninggalkan kesan mendalam dan berkesan. 

Saturday 31 August 2019

Mengenal Amerika melalui IVLP: Sebelum Berangkat (IVLP 1)

Mengenal Amerika melalui IVLP

Amerika Serikat bukanlah negara yang asing untuk saya dan mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia. Sejak kecil, kita telah melihat berbagai sisi negara Paman Sam itu melalui media massa terutama TV.

Berbagai kota di Amerika ditampilkan melalui film hingga berita. Deskripsi kehidupan masyarakat Amerika pun sedikit kita nikmati melalui berbagai novel yang saya baca selama kuliah.

Namun baru di akhir 2018 kemarin saya mengalami sendiri sepercik kehidupan masyarakat di sana. Selama tiga minggu saya diberi kesempatan oleh Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat (Department of State) untuk tinggal dan mengunjungi beberapa kota di sana. 

Berfoto depan Gedung Putih

Beruntung pula, rencana perjalanan yang dibuat mengakomodasi gambaran umum bagaimana kehidupan masyarakat Amerika. Saya dan rombongan bisa menikmati lima kota di empat negara bagian berbeda; yang semuanya merupakan representasi kewilayahan. Washington DC dan Philadelphia di pantai timur, Chicago di tengah, Sacramento dan San Francisco di Pantai Barat.

Meski masih berada dalam satu negara, corak budaya dan bahasanya cukup menarik untuk disimak. Apalagi Amerika merupakan negara dengan perpaduan berbagai bangsa dan budaya dari berbagai penjuru dunia. Masing-masing kota memiliki sejarah Panjang dan kisahnya tersendiri.

Seperti apa perjalanan kami? Sekilas cerita ini semoga bisa memberikan gambaran.


Mohon bantuan kliknya